Daftar Blog Saya

Sabtu, 13 Maret 2010

ceramah dan Nara sumber di Malang

Saat ceramah di studio Televisi lokal Malang, di Malang TV

INTIMISASI TUHAN DENGAN NILAI ISLAMI

Disampaikan dalam Orasi Budaya & Pentas Seni MABA ’02

Fakultas Agama Islam Unisma Malang

Oleh

Drs. H. M. Ali Ghufron

Dalam segala segi kehidupan tanpa nilai Islami, tiada yang patut dibanggakan, baik individual terlebih untuk kehidupan sosial masyarakat. Jauh sebelum agama Hanif diproklamirkan di gurun Arabia. Tata nilai berjalan tertatih-tatih, bahkan sayup-sayup dan redup dari cahaya Ilahi, digilas kebodohan dan kebatilan dalam nilai aqidah/keimanan dan akhlaq/moralitas ( Jahiliyyah ).

Risalah Islam datang, Rasul menyatakan “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk memulyakan akhlaq/ moralitas”. Lantas segalanya mengalami perubahan yang cepat, yang tidak terbayang sebelumnya. Bahkan selanjutnya, terutama jaman keemasan Islam, nilai Islami semakin berkembang ke seluruh penjuru dunia, karena satu hal; ruh ajaran Islam mulai dikenal dan dipraktikkan dalam ke hidupan dan didakwahkan pada masyarakat, sehingga mempunyai tata nilai.

Tata nilai merupakan aturan pandangan dan anggapan masyarakat, yang digunakan sebagai pedoman dalam menilai sesuatu dan dalam mengendalikan serta memilih tingkah laku, dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain tata nilai adalah suatu kumpulan norma yang diakui oleh masyarakat, dan digunakan sebagai pedoman dalam menentukan realitas yang ada sekelilingnya, dan dalam menentukan sikap selanjutnya.

Realitas ada dua ;

1. Overt reality; realitas yang teraga, sistem sosial, sistem bahasa dan sistem teknologi.

2. Covert reality; realitas yang tidak terasa, sistem ideologi ( kosmologis, tata nilai, dan pola sikap ).

Kedua macam realitas tersebut saling mewarnai dan mempengaruhi. Secara funda mental, sistem nilai tersebut dapat dibagi dalam kategori :

a. Nilai etis, yang mendasarkan orientasinya pada ukuran baik atau buruk.

b. Nilai pragmatis, yang mendasarkan orientasinya pada ukuran berhasil atau gagal.

c. Nilai effec sensoris, yang mendasarkan orientasinya pada ukuran menyenangkan atau menyedihkan.

d. Nilai religius, yang mendasarkan orientasinya pada ukuran halal atau haram, dosa atau tidak dosa, manfaat dan mudlarat, maslahah dan mafsadah, dampak positif dan dampak negatif.

Orientasi masyarakat terhadap nilai-nilai tersebut dapat mengalami perubahan atau pergeseran, dari waktu ke waktu. Pergeseran nilai tersebut akan berakibat terjadinya perubahan pandangan, sikap dan tingkah laku masyarakat yang bersangkutan; Hal ini tidak lepas dari interaksi antara realitas teraga dengan realitas tidak teraga dalam sistem sosio kultural secara keseluruhan. Sebagai contoh dapat disebutkan sebagai berikut :

a. Dahulu, pandangan masyarakat terhadap makna hidup yang ideal, adalah hidup untuk bera mal dan berbakti. Tapi sekarang pandangan tersebut mengalami perubahan, seperti data yang diperoleh LIPI dari hasil penelitian tahun 1982, di lima daerah (Aceh, Sumbar, Sumsel, Kalbar dan Bali), ternyata masyarakat sekarang mengambil pilihan tentang makna hidup ideal sebagai berikut :

- “ Hidup untuk bekerja ”, didukung oleh lebih dari 75 %

- “ Hidup untuk bersenang-senang ”, didukung sekitar 20%

- “ Hidup untuk beramal dan berbakti ”, didukung oleh 4,5 %

b. Kini, pandangan tentang ketaatan remaja, pemuda/mahasiswa ( Nilai religius ) sekarang dianggap lebih kuat dibanding masa-masa dahulu, seperti yang diperoleh dari penelitian LIPI tahun 1980 terhadap empat masyarakat di Jawa ( Jakarta, Sunda Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur ) dengan perbandingar sebagai berikut :

- “ Remaja/pemuda kini lebih tertarik dan taat pada agama” diberikan dukungan oleh 46 % responden

- “ Remaja/pemuda kini lebih jauh dari agama” didukung oleh 35 % dari responden.

- “ Remaja/pemuda kini sama saja sikapnya terhadap agama” didukung oleh 19 % responden.

Hasil tersebut memberikan gambaran, bahwa masalah agama banyak mendapat perhatian serius dari ka langan remaja/ pemuda kini. Terbukti jumlah masjid, musholla, lembaga pendidikan Islam terus bertambah, wanita berjilbab menjamur, mimbar agama, shalawatan dan kesenian di berbagai media dsb. Walaupun kemaksiyatan juga terus mengimbangi, bahkan melaju lebih maju dan merajalela.

Dengan demikian pengaruh terhadap sosiokultural berdampak positif pada kedupan masyarakat kita yang sedang dalam transisi, dari masyarakat organis ke masyarakt mekanis, seperti masyarakat kita sekarang. Keseimbangan antara Vertikalisasi dan horizontalisasi dadam pranata kehidupan telah ditegaskan dalam firman Allah “ DZURRIBAT ‘ALAIHIMUDDZILLATU AINAMAA TSUKIFUU ILLAA BIHABLIM MINALLAHI WAHABLIM MINANNAASI”(Q.S Ali Imron : 112)

“ Mereka diliputi kehinaan di manapun mereka berada kecuali melakukan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia “.

Dan akan intim/ erat keduanya (Hablumminallah dan Hablumminannas) bila semua aktifitas kehidupan kita sertai Lillahi ta’ala, dan diniati ibadah. Maka hidup akan bermakna denga memperoleh ridha dan Rahmat-Nya.

Maha suci Allah, dan menyukai kesucian dan mendapat ridla-Nya. Maha Adil Allah, dan menyukai keadilan dan mendapat ridla dan Rahmat-Nya. Maha Indah Allah dan menyu kai keindahan.

Malang, 7 Oktober 2002,

Rujukan:

1. Al Quran/Hadits

2. Salim, Agus. 1979. Seni dalam Islam. Bandung. Almaarif

3. Hasan, Muhammad Tholchah. 1986. Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Jaman. Malang. Bangun Prakarya.







Rabu, 10 Maret 2010

Pengajian Umum



KHUTBAH JUMAT
JUDUL :

MEWUJUDKAN PERILAKU TAQWA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِىْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلاً. أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِى اَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَىالدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا وَدَاعِيًا اِلَىاللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ وَعَلى الِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اتَّبَعَ الْهُدىْ أَمَّا بَعْدُ فَيَا اَيُّهَاالنَّاسُ اِتَّقُوْاللهَ اِلَىالْخَيْرِ قَرِيْبًا وَعَنِ الشَّرِّ بَعِيْدًا أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَن


Sidang Jum’at Rahimakumullah
Terelebih dahulu marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT dan marilah kita saling mengingatkan bahwa Inti dan esensi dari semua pengabdian manusia terha-dap Allah Swt adalah “Ketaqwaan” kepada-Nya. Alhamdulillah pada Saat ini kita berkumpul di mesjid yang mulia ini akan melaksanakan shalat jum’at, salah satu untuk membuktikan ketaatan terhadap perintah Allah Swt yang dilandasi kesadar-an dan ketaqwaan. Rasulullah Saw telah mengingatkan umat-nya agar setiap saat selalu bertaqwa kepada Allah Swt: “ITTAQILLAHA HAITSU MAA KUNTA – Bertaqwalah engkau kepada Allah Swt dimana saja kamu berada”. Mak-sudnya bertaqwa itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu: ka-panpun, dimanapun dan dalam posisi serta keadaan apapun. Demikian pula setiap khatib dalam mengawali khutbahnya selalu mengingatkan kita semua untuk memantapkan, me-ningkatkan dan memelihara ketaqwaan ini.
Betapa pentingnya sikap dan perilaku taqwa itu sehing-ga dalam al-Qur’an lebih 260 kali kata “TAQWA” ini dise-butkan, dan salah satu diantaranya firman Allah Allah Swt dalam Surat Al- Imran ayat 102.
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقاَتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu ke-pada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan ja-nganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keada-an beragama Islam. (QS. Ali Imran, 3: 102)

Dan Firman Allah Swt dalam Al-qur’an surat Al-hujurat ayat 13 menyatakan :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara ka-mu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. (QS. al-Hujurat, 49: 13)

Hadirin Rahimakumullah
Ketaqwaan merupakan puncak kehidupan ruhaniah ma-nusia serta merupakan ajaran Islam yang paling esensial. Ra-tusan kata taqwa diungkapkan dalam al-Qur’an menunjukan betapa tingginya

nilai kebajikan yang terkandung didalam-nya. Semua keutamaan yang dihajatkan dalam kehidupan dunia dan akhirat sudah tercakup dalam kata taqwa tadi. Be-gitu pula berbagai sifat mulia dan terpuji seperti: jujur, adil, amanah, ihsan, penyantun, pemaaf, sabar, syukur, menepati janji dan sebagainya merupakan bagian dari taqwa tadi. Se-dangkan rahmat, nikmat, barokah dan kebahagiaan semuanya merupakan buah dari ketaqwaan.
Dengan demikian taqwa ini bukan suatu penampilan luar melainkan status kedalaman diri, yang manifestasinya terpancar pada kehidupan nyata, yakni sikap dan perilaku. Taqwa menggambarkan keadaan yang pa-ling dalam dari diri manusia mengenai eksistensi hubungan langsung kepada Allah Swt serta kewajiban dan loyalitas manusia kepada-Nya.
Rasulullah Saw menegaskan
اِنَّ اللهَ لاَيَنْظُرُ اِلى صُوَرِكُمْ وَاَجْسَادِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ اِلى قُلُوْبِكُمْ وَاَعْمَالِكُمْ، اَلتَّقْوى ههُنَا، اَلتَّقْوى ههُنَا، اَلتَّقْوى ههُنَا وَيَشِيْرُ اِلى صَدْرِهِ (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa-mu dan bangun tubuhmu tetapi Ia memandang kepada hatimu dan amal perbuatanmu. Taqwa itu di sini !, Taq-wa itu di sini !, Taqwa itu di sini !” (beliau mengisya-ratkan ke dadanya)”. (HR. Muslim)

Hadirin Kaum Muslimin Rahimakumullah
Marilah kita simak tentang gambaran takwa yang dikemukakan ketika dialog yang terjadi antara sahabat ‘Umar bin Khaththab dengan ‘Ubay bin Ka’ab. Kata Saydina ‘Umar: “Wahai sahabatku Ubay bin Ka’ab menurut anda apa sebenarnya yang dimak-sud dengan bertaqwa itu?”.
Mendengar pertanyaan khalifah Umar tersebut dengan diplomatis Ubay bin Ka’ab menjawab: “Ya Amirul Muk-minin! Taqwa menurut pengertian Qur’an dan Sunnah seperti begini; bila anda mendaki bukit batu yang curam, licin ber-lumut tanpa pepohonan dan rerumputan yang dapat dijadikan pegangan seandainya kaki anda tergelincir jatuh kedasar jurang yang dalam, bagaimana sikap anda ketika mendaki gunung batu tadi agar tidak terjatuh lalu mati dengan badan hancur luluh ditempat itu?”.
Mendengar perkataan sahabatnya itu, Umar bin Khath-thab menjawab: “Aku sering mengalami perjalanan seperti itu, dan ketika mendaki gunung batu itu agar aku tidak ter-gelincir aku selalu berhati-hati sekali”.
Kata Ubay bin Ka’ab: “Nah, itulah yang dimaksud dengan bertaqwa, yaitu bersikap hati-hati dalam segala per-kara”. Kata beliau selanjutnya: Ada tiga hal yang harus dijaga, dipelihara dengan hati-hati sekali, yakni: Pertama, berhati-hati menjaga diri kita dari melakukan berbagai per-buatan yang menyebabkan Allah Swt menjadi murka, seperti: syirik, kafir, meninggalkan ibadah,
berzina, bersumpah palsu, durhaka kepada orang tua, korupsi, dan sebagainya. Kedua, berhati-hati menjaga diri dari perbuatan yang merusak atau merugikan diri sendiri seperti: meminum khamar (sekarang termasuk narkoba), berjudi, boros, membuang-buang waktu, tidak mau bekerja (malas), tidak menuntut ilmu, tidak berbu-di, dan sebagainya. Ketiga, berhati-hati menjaga diri dari per-buatan yang merusak dan merugikan orang lain seperti: me-nipu, mencuri, merampok, memfitnah, menganiaya, berkhia-nat, mengadu domba, berdusta, mengganggu ketentraman ru-mah tangga orang lain, mencemari dan merusak lingkungan dan sebagainya.
Kata Umar bin Khaththab: “Aku mengucapkan terima kasih atas penjelasan Anda, semoga Allah Swt. selalu melim-pahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita agar kita ter-masuk golongan hamba-Nya yang bertaqwa tadi”.
Hadirin Rahimakumullah
Jadi orang yang taqwa itu mereka yang selalu berhati-hati dan menjaga diri dari semua perkara (kehendak, pemikir-an, perkataan, dan perbuatan) yang mengundang kemurkaan Allah Swt, merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain walaupun bagi diri sendiri membawa keuntungan.
Sikap berhati-hati dan mawas diri tadi dilakukan dalam tiga hubungan kehidupan. Pertama, hubungan kepada Allah Swt; orang yang taqwa selalu berhati-hati menjaga diri (te-kad, ucap dan lampah) dari semua perbuatan yang dimurkai oleh Allah Swt; di bidang akidah menjaga kemurnian akidah dari segala macam rawasib (kemusyrikan dan kekafiran); di bidang ibadah selalu menjaga kemurnian ibadah sesuai dengan panduan al-Qur’an dan tuntunan Sunnah Rasul Saw; di bidang ahklaq selalu menjaga diri dari pelanggaran terha-dap hudud-hudud Allah yakni ajaran Islam. Kedua, hubungan terhadap diri pribadi dimana manusia sebagai mahluk individual (nafsiah) yang bertanggung jawab atas semua per-buatannya di hadapan Allah; maka hati-hati dalam rangka taqwa itu ialah kemampuan menjaga diri dari semua pe-langgaran (baik terhadap peraturan Allah maupun peraturan manusia) yang dapat merugikan diri sendiri. Sebab semua bentuk pelanggaran sekecil apapun akan merugikan bagi yang bersangkutan. Walaupun di dunia sekarang ini bebas dan lepas dari hukum pidana dunia tapi di akhirat kelak tidak bisa lepas dari balasan Allah Swt.
Sebagaimana Firman-Nya:
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهُ. وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat za-rrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula”.(QS. al-Zalzalah, 99: 7-8)
Ketiga, hubungan terhadap semua manusia sebagai makhluk sosial (ijtimaiyah); orang yang bertaqwa selalu ber-hati-hati menjaga diri dari semua perbuatan yang dapat me-rugikan (menbinasakan) orang lain walaupun bagi diri yang bersangkutan mendatangkan keuntungan. Karena itu pula ma-ka kita diwajibkan untuk amar ma’ruf nahi munkar untuk menghilangkan dan mencegah segala bentuk kemurkaan yang dapat menimbulkan malapetaka dan bencana bagi kehidupan ini. Seperti membiarkan orang munkar, melakukan pencemaran ling-kungan dan pengrusakan hutan yang akan menimbulkan ben-cana alam (longsor, banjir dan musibah lain) yang merugikan banyak pihak.
Sehingga Allah Swt mengingatkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 25:
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَّتُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَآصَّةً

“Dan takutlah akan fitnah yang tidak hanya menimpa kepada orang-orang yang berdosa saja”. (QS. al-Anfal, 8: 25)

Hadirin Rahimakumullah
Hancur binasanya bangsa-bangsa yang terdahulu seper-ti banyak diungkapkan dalam al-Qur’an, begitu pula hancur luluh-nya tatanan sosial serta sendi-sendi moralitas kehidupan ber-masyarakat, berbangsa dan bernegara yang menimpa bangsa kita akibat krisis multidimensional yang berkepanjangan saat ini, ditambah semakin parahnya kerusakan lingkungan kehi-dupan alam diterpa berbagai bencana yang datang silih ber-ganti dan bertubi-tubi, pada dasarnya hal ini merupakan salah satu dosa yang terasa atau tidak terasa sebagian akibat dosa kolektif bangsa yang mengkufuri nikmat Allah dan menging-kari segala petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga Allah SWT. Mengingatkan, Berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-a’raf ayat 96 :


„Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahi mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi apabila mereka mendustakannya. Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu“
Namun semua itu insya Allah dapat diatasi, diperbaiki, dan dibangun kembali apabila seluruh komponen bangsa kita baik masyarakat maupun pemerintah mempunyai tekad dan kehendak yang sama untuk bersama-sama memperbaiki dan membangun kembali yang dilandasi dengan ketaqwaan ter-hadap Allah Swt dalam arti yang sebenar-benarnya.

Allah Swt tidak akan mengubah nasib bangsa kita apa-bila kita sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya, memper-baiki dan membangun kembali dengan arah dan cara yang lebih baik.
Firman Allah Swt:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلىاللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan jalan keluar baginya dari berbagai persoalan yang dihadapi dan memberinya rizqi dari arah yang tidak di sangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencu-kupkan segala keperluannya”. (QS. Ath Thalaq : 2-3)

Hadirin Rahimakumullah
Orang yang taqwa adalah orang yang tidak mau meng-ulangi kesalahan masa lalu. Segala kesalahan langkah masa lalu dengan segala akibatnya selalu dijadikan i’tibar (cermin dan pelajaran moral) yang berharga untuk memperbaiki diri, memperbaiki sikap dan langkah agar pengalaman pahit masa lalu itu tidak terulang kembali.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan tuntunan kepada kita untuk meningkatkan ketaqwaan sebagai landasan yang kokoh untuk membangun kembali kehidupan masyarakat dan bangsa kita yang diridhai Allah Swt, Insya Allah.

أَقُوْلُ قَوْلِ هذَا وَاسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلَمَاتِ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ